Selasa, 26 April 2011

Potret Realita Kritik Sosial Terhadap Penguasa
Dalam Drama Ciut Pas Sesak Pas Karya Genthong HSa

Pendahuluan
Tampaknya tidak dapat kita pungkiri pernyataan dari Sapardi Djoko Damono yang menyatakan bahwa sastra itu diciptakan untuk dinikmati,dipahami,dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebab melalui karya sastra kita mendapatkan banyak manfaat. Kita dapat menggali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, karena karya sastra sanggup mencerminkan kondisi masyarakat,melihat,dan memahami sosiokultural masyarakat pada zaman dan tempat tertentu melalui uraian ataupun perilaku dari tokoh-tokoh dalam sastra itu.
Sastra, apapun bentuknya, tercipta karena adanya tanggapan cipta,rasa, dan karsa manusia terhadap realitas atau kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, yang diamati dan hayati. Oleh karena itu, kita dapat memahami dan mempelajari berbagai persoalan kemasyarakatan yang terdapat di dalam karya sastra itu.
Dari uraian di atas, tidaklah salah jika dikatakan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebagai sumber untuk menggali informasi tentang berbagai keadaan dan persoalan di seputar kehidupan manusia. Melalui latar, tempat, dan budaya yang ditampilkan dalam karya sastra itu. Dalam drama yang berjudul Sesak Pas Ciut pas karya Genthong HSa ini mengangkat masalah sosial masyarakat kita, yaitu mengkritisi berbagai wacana sosial di Indonesia, seperti masalah penggusuran, penindasan, terror,budaya latah media, dan pembelokan sejarah. Ciut pas sesak pas merupakan juara ketiga sayembara penulisan naskah drama nasional yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003 lalu.

Realita Kritik Sosial Terhadap Penguasa
Seseorang : sepat……
Sepatuku hilang….., ada yang mau memberi
Sepatu…?(CPSP,188)

Kritik sosial dalam drama Ciut pas sesak ini di awali dengan cerita orang bingung karena kehilangan sepatunya, itu merupakan kritik kepada Negara kita, Negara sering kehilangan dana publik trilyunan rupiah,tidak banyak pejabat yang binggung, karena mereka bisa mencari lagi dari keringat rakyat. Kita tidak bicara materinya atau sepatunya, yang menarik ketika kita membaca situasi dan kondisi sosial yang ada di sekitar kita,adalah Kita petani, buruh, wiraswasta, PKL, abang becak, asongan dll.
Seseorang :(MEMBACA) Hilang sudah....,lenyap
Sudah..., pupus sudah... segala harapan...
Siapa... di zaman ini..., mau memberi...., mau
Membuang..., memberikan obat duka...., ke
Mana akan kucari...., alas kaki...., sepatuku...(CPSP, 204)

Dari kutipan diatas, itu menggambarkan bahwa seringkali kita kehilangan pijakan dalam menata masa depan, hingga kita ada dalam kondisi yang terjebak untuk mengakui kita buruh,kita konsumen,kita lemah,kita wong cilik,kita masih berkembang, dan lain-lain. Mana yang namanya Kedaulatan Rakyat yang seringkali kita baca dan dengarkan sejak Sekolah Dasar hingga kehabisan sekolah. Jangankan kita, negara kita saja juga seringkali kehilangan pijakan dalam menata kehidupan negara dan bernegara. Jika bicara negara, apa bedanya negara dengan kita negara adalah kita, negara adalah kedaulatan kita, kedaulatan kita diinjak-injak oleh kita dan selain kita.
Akhirnya Kita juga kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan masalah kita. Petani kehilangan kemampuan menyelesaikan masalah-masalah disektor pertanian, kehutanan dan perkebunan, Pedagang Kaki Lima (PKL) kehilangan kemampuan untuk menyelesaian soal ekonomi dimana mereka beraktivitas, dan perempuan kehilangan kemampuan untuk menyesaikan soal identitas mereka. Kita sudah terlanjur menyerahkan sepenuhnya penyelesaian-penyelesaian masalah kepada negara atau justru negara yang telah mengambil kemampuan-kemampuan tersebut dari kita sehingga kita tidak memilikinya lagi, padahal negara juga kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan masalah negara dan bernegara, apa jadinya?, bukannya masalah selesai, tapi justru bermunculan masalah-masalah baru yang membebani rakyat yang terlanjur bermasalah dan kehilangan kemampuannya menyelesaikan masalah.
Yang terjadi pada saat ini, antara lain adalah kita hilang ingatan pada saat ingatan itu dibutuhkan untuk menemukan cara-cara kita menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Seseorang :Setiap orang harus menulis proses berpikir kita selama ini, bagaimana kita memutuskan untuk hidup didalam gua ini, bagaimana kita memutuskan untuk mengikat kaki, serta bagaimana hidup sederhana kita jalani bersama, bagaimana kita bersedia mati untuk mempertahankan milik kita yang terakhir, hak mendirikan karton di dalam gua kita (CPSP, 260)
Dari kutipan tersebut kita diajak berfikir,Apa kemudian yang bisa kita harapkan, ketika kita bersepakatan untuk mengikatkan diri dalam satu ikatan sosial-politik yang namanya negara, dan kemudian menyerahkan pengurusannya kepada yang namanya pemerintah ?. ’pekerja publik’ tidak jauh beda dengan ’pengusaha yang asal untung’. Malu …. malu … memalukan.
Seseorang :Memang benar, yang seharusnya malu tentu pemerintah kita…. Sedemikian besar dan kuat, serta pernah sedemikian menakutkan, tetapi, tidak menakutkan siapa-siapa, selain menakutkan bagi rakyatnya sendiri. Pencoleng dan bandit justru mendapat angin untuk bekerjasama dengan penguasa… celakanya, ketika rakyatnya digusur dan diusir sehingga berkeliaran bagai gelandangan dijalan-jalan, pemerintah tak mampu melindungi dan menolong rakyatnya. Betapa malunya pemerintah semacam ini…(CPSP, 274)

Dari kutipan tersebut, sangat jelas sebuah kritik terhadap pemerintahan (negara). dan Orang-orang yang terpinggirkan dan tertindas, digambarkan dengan posisi jogkok dan kaki yang terikat, tentang sejarah mereka yang hilang dan sengaja dihilangkan, serta perihal hak-hak asasi yang terabaikan, Dan keterpinggiran itu sendiri digambarkan dengan mendirikan rumah-rumah kardus didalam goa.

Penutup
Drama Sesak Pas Ciut pas, karya Genthong Has, memang sangat sulit dipahami dan dimengerti, untuk memahaminya harus membaca berulang kali baru bisa dipahami apa yang dimaksudkan oleh Genthong Has lewat karyanya itu. Namun, secara drama sesak pas ciut pas karya Genthong Has ini memang menarik untuk dibaca sebagai bahan renungan betapa memprihatinkan keadan Negara kita ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aminudin, 1995. Pengantar apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.


Damono, Sapardi Djoko.1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud

_______,2004. 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

_______, 2007. 26 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

_______,http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&news_id=911 (diakses tanggal 5 januari 2011)


_______, http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/08/ciut-pas-sesak-pas/ ( diakses tanggal 5 januari 2011)

____________________________________
SISWONDO, lahir di Ponorogo, 18 Nopember 1986, Mahasiswa STKIP PGRI PONOROGO Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.